Minggu, 11 April 2010

AUDISI MAMAMIA

Pada bulan Februari 2007 dan tepatnya hari Minggu aku sangat malas untuk keluar rumah dan akhirnya akupun menghabiskan waktuku untuk menonton seharian di rumah. Ketika aku mengganti channel tv , tiba-tiba aku sangat kaget bukan main karena yang baru saja aku lihat adalah suatu ajang kontes bernyanyi di salah satu televisi swasta yaitu “mamamia”. Aku amat tertarik dengan ajang tersebut karena aku seringkali terlibat dalam konser-konser nyanyi di sekolah, di Gereja, maupun di keluarga besarku. Bukan hanya itu saja, aku juga sering kali menyelenggarakan konser kamar mandi di rumahku, saat aku mandi aku selalu bernyanyi dengan lantang dan kuat, sampai-sampai Mama dan Papaku memarahiku. Kemudian setelah Mama pulang dari tempat kerjanya akupun langsung memberitahukan informasi yang penting itu, aku sangat senang karena Mama rupanya juga setuju dan sependapat dengan kontes yang ingin kuikuti.

Sebulan dari hari itu, aku mulai mencari informasi dan syarat-syarat serta ketentuan untuk mengikuti mamamia, begitu letih aku mencari informasi kesana-kesini bersama Mama. Mama dan akupun bela-bela menghabiskan waktu 2 bulan hanya untuk mencarikan keperluan untuk syarat-syarat ajang tersebut, dan tanpa memperdulikan kesehatan kami masing-masing. Minggu-minggu sebelum hari audisi, aku telah mempersiapkan dua buah lagu untuk dinyanyikan pada hari “H”nya, patah hati milik Radja dan bukan permainan milik Gita Gutawa. Selama seminggu penuh itu aku diajarkan oleh Papaku yang juga suka menyanyi seperti aku. Aku tidak tahu aku yang salah atau Papaku sampai-sampai aku sering dimarahi sebelum audisi, mungkin karena technique vocal aku salah dan seringkali fals.

Audisipun tiba pada bulan April dan tepatnya hari Sabtu. Pagi-pagi benar aku bangun dan berdoa menyerahkan seluruhnya kepada Tuhan agar aku dapat bernyanyi dengan baik dan tidak salah. Kemudian, aku bergegas mengambil handuk pink-ku bertuliskan “chasa” pada bagian bawahnya, lalu pergi ke kamar mandi. Tak biasa, kali ini aku diam seribu bahasa tidak seperti keseharianku yang sering bernyanyi ketika sedang mandi. Aku terlalu gugup dan sangat ketakutan untuk menghadapi juri-juri nantinya. Setelah aku mandi dan Mama juga telah selesai mandi, kemudian kami berdua saling mencocokkan kedua baju kami untuk sama-sama dikenakan sewaktu audisi nanti. Selesai kami makan dan aku minum segelas susu coklat, Mama kemudian menelepon taksi untuk membawa kami ke tempat tujuan kami yaitu Museum Mandala Wanna Bakti, yang lokasinya di Jalan Gatot Subroto. “Memang lumayan jauh sih” pikirku dalam hati, tapi aku benar-benar ingin sekali mengikuti ajang ini. Ditengah perjalanan menuju tempat audisi, aku semakin gugup mendengar kata-kata pak supir jika ia juga mendengar bahwa banyak sekali yang mengikuti ajang mamamia. Aku semakin yakin dan terus berdoa supaya aku dapat bernyanyi dengan baik.

Cepat sekali rasanya sampai di tempat audisi, Mama dan pak supir saling berbincang-bincang diselingi ketawa Mama yang khas. Setibanya, aku merapikan pakaianku dan berjalan tegap ala artis, begitu juga Mama. Wah, rasanya tidak mungkin jika aku bisa mengalahkan 3000 orang dalam satu hari ini. Aku semakin gugup dan semakin ragu dengan keyakinanku. Sambil berjalan bergandengan dengan Mama, tiba-tiba Mama berteriak dan menyebut-nyebut nama Pier dan rupanya Pier itu adalah teman dekatnya dari perguruan tinggi. Kemudian Mama bertanya-tanya siapa anaknya yang diajak untuk mengikuti ajang mamamia, rupanya gadis cantik berwajah imut disebelahnya dan bernama Ratih. Ratih adalah gadis berusia 16 tahun, bukan hanya jago bernyanyi, tapi dia juga berbakat dalam bidang musik terutama drum. Bersama-sama dengan adeknya dan kedua kakaknya, mereka sama-sama telah membuat sebuah band ternama yang sudah banyak dikenal. Para Mama berbincang-bincang dan aku, serta Ratih banyak mengobrol tentang suara dan musik sambil berbaris di barisan paling belakang karena kami terlambat. Lalu, aku meminta Ratih mengangkat suaranya untuk bernyanyi. Setelah aku mendengar suaranya, wah…sepertinya aku bakal kalah melawan dia juga kontestan lainnya, tapi aku tetap bersikeras untuk mencoba bernyanyi lebih baik dan lebih baik lagi nantinya.

Cuaca semakin tidak mendukung dan udara semakin panas, banyak orang memakai payung juga topi, barisan masih sangat panjang dan aku seperti kehilangan oksigen. Aku dan Mama kemudian meminta tante Pier untuk menjaga barisan kami supaya tidak direbut orang lain. Setelah itu, kami mencari makanan kecil diluar untuk mengisi perut yang kosong. Setelah selesai, kami kembali ke barisan kami. Alangkah terkejutnya diriku ketika banyak orang mengerumuni seorang gadis yang mungkin sedang menunggu Mamanya, setelah aku bertanya-bertanya di tengah keramaian, terjawablah sudah jika memang benar gadis itu merebut baris depan. Kemudian banyak yang menghina dan berkata curang kepada gadis tersebut. Bukan hanya itu saja, ada juga gadis yang menjadi salah satu kontestan mamamia menjadi korban, Mamanya bercerita kepada kami jika saat anaknya mengganti pakaian di kamar mandi untuk audisi terdapatlah sebuah handycam yang mungkin sengaja diletakkan orang lain disudut jendela. Tak lama kemudian ketika Mamanya masih bercerita mengenai konflik itu, anaknya menunjuk ke arah seorang lelaki di kejauhan. Kemudian katanya ,”dia pelakunya!” dengan lari terbirit-birit mereka mengejar laki-laki tersebut. Ada satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku, bagaimana anak itu bisa tahu kalo lelaki itu pelakunya. Ketika ditanya lebih lanjut, rupanya anak itu sudah curiga dengan orang yang masuk ke kamar mandi lebih dulu dari dia. Setelah kejadian tersebut, banyak wartawan berita yang datang dan menanya-nanyakan hal itu, Mamanya rupanya mempunyai suatu keunikan tersendiri dari Mama-mama lainnya, buktinya saat diwawancarai oleh wartawan berita, dia menanggapinya dengan banyak candaan dan latahnya sehingga membuat kami tertawa terbahak-bahak melihat tingkahnya yang konyol.

Setelah menunggu berjam-jam dengan barisan peserta yang seperti ular, sampailah kami di meja pendaftaran, lalu aku menyerahkan syarat-syarat dan ketentuannya kepada panitia, panitiapun memberikan nomor peserta untuk masuk ke ruang audisi. Untuk masuk ke ruang audisipun, kami masih harus mengantri kembali. Sambil mengurangi kejenuhan dan mengisi waktu, maka sebagian peserta banyak yang diajak untuk bernyanyi di panggung. Bukan hanya peserta-peserta saja yang diajak untuk bernyanyi ke depan panggung tapi banyak sekali artis seperti alumni Akademi Fantasi Indosiar mengisi acara dengan beberapa nyanyian dan kami sangat menikmatinya.

Haripun semakin sore dan keringatpun membasahi kontestan-kontestan lainnya, semakin banyak orang yang menggerutu. Baris masih terlalu panjang untuk dilewati. Ketika sampai di ruang tunggu audisi, aku dan Mama beserta tante Pier dan Ratih rupanya pisah tempat duduk karena banyak sekali peserta yang mengambil tempat tiba-tiba dan tidak sesuai dengan urutannya. Setelah banyak peserta yang masuk ke ruang audisi, aku semakin deg-degan dan hatiku semakin bimbang, “huaa apa aku bisa ya, ya Tuhan berikanlah aku suara yang indah 10x lipat dari biasanya, amin amin amin” doaku dalam hati. Urutanpun masih berlanjut dan aku terus berdoa dan berdoa. Banyak dari peserta yang masuk dengan penuh pengharapan dan keluar dari ruang audisi kemudian menangis, ada juga yang masuk ke ruang audisi dan kemudian keluar dengan berteriak dan bahagia sekali. Kemudian aku berpikir, apakah aku bisa menjadi peserta yang masuk ke ruang audisi dengan penuh pengharapan dan keluar dengan suka cita dan kesenangan.

Waktu mulai menunjukkan pukul 6.30 dan terdengar adzan maghrib, tetapi nomorku sampai sekarang belum dipanggil. Semakin banyak keributan dan kegaduhan di ruang audisi yang membuatku semakin memucat. Saat aku melihat ke tempat duduk Ratih dan tante Pier, rupanya mereka telah masuk ke ruang audisi. Akupun masih menunggu, sambil menonton cuplikan-cuplikan mamamia dari Negara asal dimana ajang mamamia ini dibawa ke Indonesia yaitu Spanyol. Aku masih menonton diselingi makanan kecil yang dari tadi kubawa kemana-mana, yah jet-z, makanan yang dari kecil kusenangi.

Waktupun berlalu dengan cepatnya dan keringat semakin mengucur dari kepalaku. Tiba-tiba nomorkupun dipanggil dan kemudian aku berdoa pada Tuhan agar aku dapat bernyanyi dengan enjoy dan tidak gugup. Aku dan Mama kemudian melangkahkan kaki menuju ruang audisi. Setelah kami masuk ke ruang audisi, aku semakin gugup dan terus menelan ludahku, ternyata banyak sekali juri yang menilai, kurang lebih ada 10 orang.
Rupanya sebelum menyanyi, para juri meminta Mamaku untuk mempromosikan diriku. Aku tidak tahu jika ada tahap seperti ini sebelum aku bernyanyi. Mamaku dengan tergesa-gesa mencoba berbicara lantang di depan 10 juri jika aku mempunyai kelebihan dalam bidang menyanyi. Aku tahu kalau Mamaku tidak pandai dalam berbicara, tapi aku punya potensi untuk terus bertahan. Setelah Mama mempromosikan diriku, para juri mempersilahkan aku untuk bernyanyi. Aku bimbang saat ditanyakan mau bernyanyi apa lalu dengan keras dan lantang aku menjawab lagu patah hati milik Radja, ups aku salah menjawab seharusnya lagu pertama dalam tahap ini adalah lagu bukan permainan milik Gita Gutawa. Lalu aku mulai bernyanyi dengan keras dan tempo yang kubuat sendiri dengan menghentakan kaki dan petikan jari. Wah….aku salah lirik, di bagian reffreinnya aku menyanyikan reffrein kedua, dengan percaya diri kemudian aku melanjutkan nyanyiku. Setelah selesai para juti bertepuk tangan menghargai nyanyianku, lalu kemudian penilaian, rupanya penilaiannya jika juri memilih berarti mengangkat bendera putihnya jika tidak berarti tetap diam. Detik-detik penilaianpun berjalan. Ketika salah satu juri mulai memberikan aba-aba, aku semakin takut dan berpegangan erat dengan Mamaku. Setelah menyebut 3...para juri menaikkan bendera putihnya, ternyata..apa yang kuharapkan tidak seperti keinginanku. Hanya 1 juri yang mengangkat benderanya. Aku ingin sekali menjerit dan berteriak histeris sambil menangis, tapi apa daya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Keluar dari ruang audisi aku menutup mukaku dengan segala rasa kesal yang menyelimutiku. Aku tidak dapat menahan kekesalanku sampai-sampai aku menangis dan dilihat banyak orang. Kulihat Mama, dan dia mendatangi tante Pier, kemudian kudengar Mama bertanya-tanya apakah Ratih masuk ke tahap selanjutnya, tante Pier menjawab ya dan terlebih lagi 10 orang juri pada audisi tadi semuanya memilih Ratih. Sungguh kecutnya hatiku mendengar pernyataan itu.

Kemudian Mama menceritakan hasil audisiku tadi, hasil yang menurutku sangat memalukan dan seharusnya tidak layak diceritakan. Aku langsung memotong omongan Mamaku pada tante Pier, dan kemudian menggenggam dan menarik tangan Mamaku. Mama kemudian mengucapkan salam perpisahan pada tante Pier dan Ratih. Satu kalimat yang kuingat dari tante Pier yaitu, “gakpapa ya…kan masih kecil, lagian kontes-kontes kayak gini cuma buat nambah pengalaman aja kok”. Kemudian aku dan Mama berjalan keluar dari museum dan pergi ke jalan raya untuk memanggilkan taksi.

Aku masih menangis dan menangis, sampai kami mendapatkan taksi, aku masih saja menangis. Tissue dari mamapun menipis dan aku mengotori taksi, Mamapun meminta maaf kepada Bapak supir, tetapi alangkah baiknya pak supir saat berkata, “gakpapa kok bu, anak saya juga ada yang seumuran kayak dia”. Aku langsung menarik wajahku dan berhenti menangis. Sesampainya di rumah, aku melanjutkan tangisku dan menjerit bukan main, sampai-sampai Papaku memarahiku dan mengusirku keluar rumah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, sampai akhirnya abangku dan Mamaku membujuk Papaku dan Papa memperbolehkan aku masuk ke rumah.

Setelah kejadian tersebut, aku semakin dewasa dalam menjalani hidup ini.
Semakin banyak pengalaman yang aku dapatkan dan semakin berani menunjukkan keberanianku nyanyi di depan orang banyak, keahlian di bidang musikpun kuasah. Dalam benakku aku terus berkata ,”dapatkanlah pengalaman baru sebanyak-banyaknya”. Aku tidak tahu Tuhan menciptakanku untuk apa di dunia ini, tapi aku yakin Tuhan punya rencana yang baik mengapa aku ditempatkan di dunia ini. Banyak kegagalan yang menimpaku saat aku menjalani kehidupanku ini, tapi aku yakin kegagalanlah yang menjadi kekuatanku.